Home

Pemerintah Pusat Ambil Alih Izin Usaha Perkebunan di Kawasan Hutan

Leave a comment

Perubahan Kawasan
Alih Izin Usaha Perkebunan di Kawasan Hutan yang dapat menimbulkan permasalahan perebutan lahan dengan masyarakat bila dalam pemberian izinnya tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang telah mendiami wilayah Usulan Izin Usaha Perkebunan (Photo by naturasumatrana)

Pemerintah Pusat Ambil Alih Izin Usaha Perkebunan di Kawasan Hutan

Senin, 30 Juli 2012 – 15:15 WIB
Oleh: Desk Informasi Sekretaris Kabinet Republik Indonesia

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tanggal 6 Juli 2012, merubah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, utamanya yang menyangkut keberadaan lahan pengganti dan menyisipkan aturan tentang izin untuk kegiatan usaha perkebunan yang berada di kawasan hutan.

Sebagaimana diketahui dalam PP Nomor 10/2010, pemerintah memberikan peluang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan guna memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada otimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan serta keberadaan kawasan hutan dengan luasa yang cukup dan sebaran proporsional.

Kawasan hutan yang dimaksudkan adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sevafau hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Namun perubahan peruntukan yang dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi tetap, dan/atau hutan produksi terbatas.

Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 menyebutkan, tukar menukar kawasan hutan dilakukan dengan ketentuan:
a. Tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikir 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan
b. Mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.

“Dalam hal luas kawasan hutan kurang dari 30%, tukar menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan ratio paling sedikir 1:2, kecuali tukar menukar kawasan hutan untuk menampung korban bencana alam dan kepentingan umum terbatas dapat dilakukan dengan ratio paling sedikir 1:1,” bunyi Pasal 12 Ayat 2 PP tersebut.

Dalam hal luas kawasan hutan kurang dari 30%, menurut PP tersebut, tukar menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan ratio paling sedikir 1:1.

Mengenai lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan itu, jika pada PP Nomor 10 Tahun 2010 ditegaskan terletak berbatasan langsung dengan kawasan hutan, pada PP Nomor 60 Tahun 2012 tidak ada aturan bahwa lahan pengganti harus berlokasi langsung dengan kawasan hutan. Namun ketentuan mengenai letak, luas, dan batas kawasan pengganti harus jelas; terletak dalam daerah aliran sungai, provinsi atau pulau yang sama; dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; tidak dalam sengketa; dan direkomendasikan oleh gubernu dan bupati/walikota tetap berlaku.

Tarik Izin ke Pusat

Secara khusus PP Nomor 60/2012 mengatur mengenai kegiatan usaha perkebunan yang selama ini izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 51A yang merupakan sisipan dari Pasal 51 dan Pasal 52 PP Nomor 10/2010 disebutkan: kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah di areal yang merupakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya PP Nomor 60/2012 wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.

Hal yang sama juga berlaku bagi pemegang izi usaha perkebunan di areal kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi tetap, diberikan waktu 6 (enam) bulan untuk mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan ke Menteri Kehutanan.

“Tukar menukar sebagaimana dimaksud (kawasan hutan) itu dilakukan dengan menyediakan lahan pengganti dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak permohonan disetujui. Dalam hal pemohon telah menyediakan lahan pengganti, Menteri Kehutanan dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan,” bunyi Pasal 51 B Ayat 1, 2 PP Nomor 60 Tahun 2012.(Pusdatin, ES)

————————————————-
source: Sekretaris Kabinet Republik Indonesia

#justShareAnyNews

Kemenhut Launching 8 SNI Sektor Kehutanan

Leave a comment

Kemenhut Launching 8 SNI Sektor Kehutanan

Kementerian Kehutanan, 11 Januari 2012
Nomor: S. 14 /PHM- 1 /2012

Menteri Kehutanan yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementrian Kehutanan, Dr. Ing. Hadi Daryanto, DEA telah melaksanakan dan menandatangani pernyataan launching Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor kehutanan tahun 2011, pada akhir tahun 2011 bertempat di Jakarta. Acara tersebut disaksikan oleh kepala BSN, dan Kepala Pusat Standarisasi dan Lingkungan serta dihadiri oleh 90 undangan dari berbagai kalangan. Kepala pusat standarisasi dan lingkungan, Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc., menuturkan bahwa sejak terbentuknya Pusat Standarisasi dan Lingkungan tahun 1999 hingga tahun 2011 telah dihasilkan 128 SNI yang terdiri dari 86 SNI hasil hutan kayu, 37 SNI pengelolaan hutan, dan 14 SNI hasil hutan bukan kayu. 29 diantaranya merupakan standar ISO yang diadopsi identik SNI ISO (panel kayu, kayu gergajian, dan lantai kayu). Pada tahun 2011 pusat standarisasi dan Lingkungan dibantu dengan tiga Panitia Teknis Perumusan RSNI (PT 65-01 Pengelolaan Hutan, PT 65-02 hasil Hutan Nasional (RSNI), 6 RASNI dan 8 diantaranya telah ditetapkan sebagai SNI oleh Kepala BSN yaitu 2 SNI pendugaan karbon hutan dan 6 SNI kayu dan produk kayu ( 4 SNI diantaranya merupakan revisi).

Delapan SNI yang telah dilaunching yaitu: (1) SNI 7724:2011 Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – pengukiran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan; (2) SNI 7725:2011 Penyusunan persamaan alometrik untuk penaksiran cadangan karbon hutan berdasar pengukuran lapangan; (3) SNI 7533.2:2011 Kayu bundar – bagian 2: Pengukuran dan tabel isi; (4) SNI 7533.3:2011 Kayu bundar – bagian 3: pemeriksaan; (5) SNI 7535.3:2011 Kayu bundar jenis jati – bagian 3: Pengukuran dan tabel isi (6) SNI 7537.3:2011 Kayu gergajian – bagian 3: Pemeriksaan; (7) SNI 7731.1:2011 Kayu lapis indah jenis jati – bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan; (8) SNI 7732.1:2011 Venir jenis jati – bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan. Kedua SNI pendugaan karbon hutan sangat relevan dengan Peraturan presiden Nomor 71 tahun 2011 yang mendorong Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) menggunakan faktor emisi lokal sedangkan keenam SNI Kayu dan produk kayu dapat diterapkan untuk pengukuran dan pemeriksaan kayu dalam penata usahaan kayu serta audit Verivikasi Legalitas Kayu (VLK).

Beberapa standar tersebut akan dilengkapi dengan perumusan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang menjadi acuan dalam sertifikasi profesi sektor kehutanan, dan untuk mendukung implementasi PERPRES No. 71/201, telah disiapkan rancangan standar kompetensi kerja untuk Inventarisasi Karbon Hutan yang akan ditetapkan menjadi SKKNI oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kepala BSN Dr. Ir. Bambang Setiadi, M. Si juga menyampaikan bahwa dengan adanya berbagai kawasan perdagangan di dunia yang menyebabkan tersedianya pasokan barang sehingga dunia membutuhkan sebuah “standar” dan dengan adanya isu global melibatkan hampir semua negara berkepentingan yang memerlukan suatu acuan yang disepakati bersama untuk mengukur atau sertifikasi serta menghindari kerugian. Pentingnya harmonisasi SNI dan Standar Internasional agar produk Indonesia dapat bersaing di pasar internasional. selain itu agar cara pengukuran atau sertifikasi di Indonesia dapat diakui di pasar internasional dan penolakan karena ketidak-sesuaian kualitas atau penilaian dapat dihindari sehingga transaksi berjalan lancar dan efisien.

Jakarta, 11 Januari 2012
Kepala Pusat,
M a s y h u d
NIP. 19561028 198303 1 002

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan di The Indonesian Nature Conservation Letter (INCL) edisi 15-03b tanggal 16 Januari 2012 yang dikelola oleh PILI-Green Network

Menteri Kehutanan Siap Canangkan Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin, Propinsi Jambi

Leave a comment

From INCL Edisi 12-12b, 30 Maret 2009:

Menteri Kehutanan Siap Canangkan Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin, Propinsi Jambi

Nomor : S. 141/PIK-1/2009
Dephut, 24 Maret 2009

Menteri Kehutanan DR (H.C) Ir. H. MS. Kaban akan mencanangkan pembentukan Hutan Desa. Pencanangan direncanakan pada tanggal 30 Maret 2009 di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Acara pencanangan tersebut rencananya akan dihadiri oleh Gubernur Jambi, Gubernur Bali, Gubernur Sulawesi Selatan, Bupati se-propinsi Jambi, Bupati Buleleng, Bupati Sumba Timur, Bupati Rejang Lebong, dan Bupati Kepahiang, beberapa Kepala Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten/Kota, UPT Departemen Kehutanan, perwakilan negara Donor, Perguruan Tinggi, LSM, Eselon I dan II Departemen Kehutanan, mitra Departemen Kehutanan, kelompok masyarakat Hutan Desa setempat, dan masyarakat umum. Pengembangan Hutan Desa merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah untuk memberikan akses dalam mengelola hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di sekitar hutan.

Pada pencanangan ini, akan diserahkan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa oleh Menteri Kehutanan kepada Gubernur Jambi, dan Hak Pengelolaan Hutan Desa oleh Gubernur Jambi kepada Lembaga Desa Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi, serta SK Menteri Kehutanan tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm) kepada Bupati Buleleng, Bupati Sumba Timur, serta Bupati Rejang Lebong.

Setelah acara pencanangan, akan dilakukan penanaman pohon oleh Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Para Eselon I, Gubernur, serta Bupati dan dilanjutkan dengan tinjauan lapangan ke kebun bibit masyarakat, Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA), serta Lubuk Larangan.

Masyarakat Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Batin Ulu III, Kabupaten Bungo telah berhasil mempertahankan kearifan lokal  dalam pengelolaan sumber daya alam desa di sekitarnya. Beberapa kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Lubuk Beringin dalam mengelola sumber daya alamnya antara lain melalui model agroforestry karet, pertanian sawah organik, bertanam padi serentak, pembibitan karet keluarga, lubuk larangan serta perlindungan kawasan hutan lindung dan taman nasional.

Disamping hasil langsung yang didapat masyarakat seperti sadapan karet, buah-buahan, rotan, bambu, MPTS, serta tanaman pertanian, masyarakat juga memperoleh hasil tidak langsung antara lain ketersediaan air, iklim mikro, dan juga sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

Hutan desa dibentuk atas pertimbangan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Pembentukan Hutan Desa diawali dari usulan penetapan areal kerja hutan desa oleh Bupati/walikota kepada Menteri Kehutanan berdasarkan permohonan kepala desa. Permohonan kepala desa tersebut dilampiri peta dengan skala minimal 1:50.000 dan deskripsi kondisi kawasan hutan antara lain fungsi hutan, topografi, dan potensi. Apabila areal kerja hutan telah memperoleh penetapan dari Menteri Kehutanan, selanjutnya kepala desa mensosialisasikan kepada masyarakat dan kemudian membentuk Lembaga Desa yang akan mengelola areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan tersebut.

Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Kriteria tersebut berdasarkan rekomendasi dari Kepala KPH atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Hak pengelolaan hutan desa ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Evaluasi akan dilakukan paling lama setiap 5 tahun sekali oleh pemberi hak.

Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak. Masyarakat juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan atau penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang walet, meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. Untuk mengatur pengelolaan hutan desa, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.

Hingga akhir tahun 2015, Departemen Kehutanan menargetkan pengembangan Hutan Desa hingga seluas 2 juta hektar. Hasil identifikasi desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2007 yang dilakukan oleh Depertemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik di 15 propinsi, yaitu Sumut, Sumbar, Riau Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku, terdapat 31.957 desa. Dengan rincian 1.305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan.

Jakarta, 25 Maret  2009
Kepala Pusat Informasi Kehutanan
u.b. Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi,
Ttd.Drs. Bintoro, M.Si.
NIP. 710018432